Jakarta (31/5) – Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) didukung oleh United Nations (UN) Women Indonesia tengah menyusun Laporan Nasional Beijing Platform for Action (BPfA) +30 yang mencakup 12 (dua belas) area kritis. BPfA merupakan kesepakatan dari negara-negara Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rangka melaksanakan Convention on Elimination of All Forms Discriminations Againts Women (CEDAW).
Tahun 2025 mendatang, komunitas global akan memperingati 30 tahun pelaksanaan BPfA serta 10 tahun Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal ini menjadi peluang untuk memperkuat aksi responsif gender dan komitmen bersama dalam mendorong kesetaraan gender serta hak-hak perempuan dan anak perempuan.
“Kemen PPPA sebagai leading sector pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak memprakarsai seluruh proses penulisan laporan ini dengan melibatkan berbagai stakeholder. Namun demikian, Laporan BPfA +30 bukan hanya milik Kemen PPPA, tetapi milik Indonesia sehingga penting untuk mendapatkan masukan dari para stakeholders terkait data dan informasi yang dibutuhkan. Pelaporan BPfA +30 akan memberikan manfaat yang sangat baik dan menjadi kesempatan untuk mendokumentasikan praktik-praktik terbaik serta merumuskan kebijakan yang inklusif guna meningkatkan kesetaraan gender di Indonesia. Nantinya, Laporan Nasional BPfA +30 juga dapat menjadi bahan evaluasi dalam mengikuti konferensi tingkat menteri,” ungkap Plt. Sekretaris Kemen PPPA, Titi Eko Rahayu.
Dalam proses penyusunan Laporan Nasional BPfA +30, Kemen PPPA telah melakukan serangkaian diskusi dan konsultasi untuk mendapatkan peninjauan secara komprehensif, salah satunya menyelenggarakan konsultasi nasional yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada 29 Mei 2024. Konsultasi nasional ini bertujuan untuk melakukan validasi dan verifikasi data yang akan menjadi masukan dalam proses finalisasi laporan yang akan diserahkan pada Juni 2024 mendatang. Kegiatan tersebut dihadiri sejumlah perwakilan Kementerian/Lembaga (K/L), pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, sektor swasta, dan media.
Proses konsultasi diawali dengan pemaparan keberhasilan pelaksanaan aksi responsif gender di 6 (enam) klaster isu yang menjadi fokus pembahasan dalam laporan. Keenam klaster tersebut adalah pembangunan inklusif, kesejahteraan bersama, dan pekerjaan yang layak dengan area kritis mengenai perempuan dan kemiskinan, perempuan dan ekonomi, hak asasi perempuan, dan anak perempuan; pengentasan kemiskinan, perlindungan sosial, dan pelayanan sosial; kebebasan dari kekerasan, stigma, dan stereotipe; partisipasi, akuntabilitas, dan kelembagaan responsif gender; masyarakat inklusif dan damai; dan konservasi, perlindungan, dan rehabilitasi lingkungan.
Dalam pertemuan tersebut, disampaikan hasil masukan dari berbagai stakeholder yang dilanjutkan dengan tanggapan dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Kesehatan, Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE), dan Lingkar Belajar untuk (LiBu) Perempuan.
“Kami mendapatkan masukan terkait praktik baik serta tantangan yang ada dalam pelaksanaan aksi-aksi responsif gender di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah dengan prioritas yang dibahas dalam 5 (lima) tahun terakhir, yaitu penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak; kesetaraan dan nondiskriminasi; pendidikan berkualitas, pelatihan khususnya di bidang science, technology, engineering, and mathematics (STEM); kewirausahaan perempuan dan perusahaan perempuan; dan akses terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi,” tutur Titi.
Menurut Titi, hasil diskusi dan konsultasi dengan berbagai stakeholder tersebut akan menjadi masukan pada penulisan laporan BPfA+30 yang memuat prioritas, tantangan, dan praktik baik selama 5 (lima) tahun serta isu prioritas negara dan rekomendasi ke depan. Selain itu, Laporan Nasional BPfA +30 juga akan menjadi dasar pelaksanaan BPfA lima tahun ke depan di Indonesia.
Plt. Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Indra Gunawan menyampaikan, masukan dan tanggapan yang diberikan oleh para stakeholder terkait sangat penting untuk memperkaya draft laporan yang sedang disusun. “Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah pentingnya upaya peningkatan kapasitas untuk pengembangan ekonomi digital; pengentasan kemiskinan; dan perlindungan sosial bagi perempuan termasuk kelompok rentan,” kata Indra.
Selain itu, Indra juga menyoroti isu peningkatan keterwakilan perempuan; perempuan dalam pengambil keputusan; dan perempuan agen perdamaian, termasuk upaya pemulihan jangka panjang dan komprehensif untuk perempuan, anak, lansia, disabilitas, dan masyarakat lokal yang menjadi korban konflik. “Dalam pertemuan ini juga menyoroti berbagai capaian pemerintah dan inisiatif lembaga masyarakat serta pelibatan kelompok masyarakat, termasuk penyandang disabilitas untuk isu kebencanaan dalam upaya konservasi lingkungan dan aksi-aksi iklim serta penurunan gas rumah kaca,” pungkas Indra.