Industri pulp dan kertas Indonesia merupakan salah satu sektor industri yang memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Kinerja ekspor industri kertas nasional mencapai USD8,37 Miliar pada tahun 2023, serta memberikan kontribusi 4,48% terhadap ekspor industri pengolahan atau setara menyumbang 4,03% PDB industri pengolahan (non-migas). Dengan kapasitas terpasang nasional industri pulp sebesar 11,45 juta/tahun dan industri kertas sebesar 21,19 juta ton/tahun, menempatkan Indonesia menjadi produsen peringkat ke-8 dunia untuk pulp dan peringkat ke-5 dunia untuk kertas.
Dengan kinerja yang mumpuni tersebut, Kementerian Perindustrian mendorong industri pulp dan kertas untuk menjalankan prinsip-prinsip industri hijau dan berkelanjutan. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) serta mewujudkan target Net Zero Emission (NZE) sektor industri pada 2050, lebih cepat satu dekade dari target nasional di tahun 2060.
“Kami percaya, dengan dukungan seluruh pihak, termasuk para pelaku industri pulp dan kertas, langkah-langkah yang kita lakukan secara bersama akan berkontribusi positif bagi lingkungan, kesehatan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi hijau berkelanjutan di Indonesia,” Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, pada acara CEO Meeting Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia di Surabaya, Kamis (31/10).
Putu menyampaikan, sebaran industri pulp dan kertas terpusat di Pulau Jawa, dengan 57 industri aktif beroperasi, dengan 23 perusahaan di antaranya berlokasi di Jawa Timur. Industri kertas di Jawa Timur umumnya menggunakan bahan baku kertas daur ulang. Kebutuhan kertas daur ulang untuk industri pulp dan kertas nasional mencapai sekitar 7 juta ton per tahun, dengan volume impor limbah non-B3 kelompok kertas sebesar 3,24 juta ton pada tahun 2023 sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perusahaan industri hanya dapat mengimpor limbah non-B3 sebagai bahan baku industri yang tidak berasal dari kegiatan landfill, bukan sampah dan tidak tercampur sampah, tidak terkontaminasi B3 dan Limbah B3, dan homogen. Perusahaan juga wajib melakukan pengelolaan impuritas, sehingga menjamin pengelolaan industri pulp dan kertas secara Environmentally Sound Manner.
“Namun, tantangan muncul dengan berlakunya EU Waste Shipment Regulation yang dijadwalkan berlaku pada Februari 2025, yang dapat memengaruhi pemenuhan bahan baku impor,” ujar Putu. Untuk itu, pemerintah bersama dengan industri tengah menyiapkan persyaratan untuk dapat diterima sebagai eligible country.
Sebagai negara yang berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, Indonesia berusaha memperkuat pengawasan dan regulasi terkait impor limbah non-B3. Salah satu langkah penting yang telah diambil adalah pengundangan Peraturan Menteri Perindustrian No. 39 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Rekomendasi Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. Selain itu, Putu juga menyinggung mengenai industri hijau di sektor industri pulp dan kertas yang telah mulai disiapkan dalam membantu industri menghadapi perdagangan karbon yang saat ini sudah bukan lagi menjadi pilihan, melainkan sebuah keharusan.
“Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan yaitu penyusunan dan/atau revisi Standar Industri Hijau (SIH) bersama dengan Pusat Industri Hijau, melaksanakan bimbingan teknis terkait Life Cycle Assessment, dan Penyusunan Product Category Rules (PCR),” ujar Putu.
Selain itu, Indonesia juga tengah berupaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% pada tahun 2030 atau sebesar 43,2% dengan dukungan keuangan internasional melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Beberapa langkah dan upaya telah dilaksanakan oleh para pelaku usaha industri pulp dan kertas indonesia sebagai upaya penurunan emisi GRK, antara lain dengan pemanfaatan limbah biomassa (wood bark) untuk menghasilkan energi uap/panas/Listrik, pemanfaatan bahan baku daur ulang, pemanfaatan lindi hitam untuk menghasilkan energi uap/panas/Listrik, serta adanya sistem anaerobic untuk mengolah limbah/lindi gitam (black liquor). Sementara itu, masih terdapat beberapa peluang pemanfaatan lain dari limbah industri ini sebagai Energi Baru Terbarukan (EBT), yaitu dengan memanfaatkan sludge IPAL, RDF plant untuk impuritas plastik, dan pemanfaatan biogas.
“Industri Pulp dan Kertas merupakan salah satu sektor yang berkontribusi signifikan terhadap emisi ini, terutama melalui penggunaan energi dan proses industri yang intensif,” tambah Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Liana Bratasida, yang ditemui di acara yang sama.
Liana juga menyebut bahwa tantangan dalam mengurangi emisi dan beralih ke sumber energi yang lebih bersih serta tata laksana pengelolaan limbah yang mumpuni bagi industri menjadi agenda penting yang harus diatasi.