Jakarta (22/04) –
“Adat istiadat negeri kami melarang keras anak perempuan keluar rumah. Kami tidak diizinkan pergi ke tempat lain, dan satu-satunya lembaga pendidikan di kota kecil kami hanyalah sebuah sekolah dasar umum untuk orang Eropa”
(Surat RA Kartini kepada Selah D. Halimah, 25 Mei 1899)
Kutipan Surat RA Kartini yang tertuang dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” tersebut dibacakan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi dalam pagelaran musikalisasi pembacaan surat-surat RA.Kartini dengan tema “Suara Perempuan dalam Budaya” di Jakarta, Senin (21/04). Menteri PPPA menegaskan Kartini tidak menolak budaya, tetapi mengkritisi ketidakadilan.
“Kartini tidak menolak budaya, tetapi mengkritisi ketidakadilan yang ada di dalamnya. Kartini ingin suara perempuan didengar untuk membangun peradaban yang lebih baik. Kartini menulis dengan jujur dan berani tentang belenggu adat, namun juga menyuarakan harapan besar. Ini jelas tertulis pada salah satu suratnyademikian bunyinya,Kami ingin bekerja untuk tanah air kami, tapi kami diikat oleh rantai adat,” ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA menyatakan surat-surat RA.Kartini mengingatkan kita semua bahwa suara perempuan memiliki kekuatan perubahan. Menteri PPPA mengapresiasi usaha Prof. Wardiman Djojonegoro (Menteri Pendidikan periode 1993 – 1998) yang telah merangkum 149 surat Kartini dalam Trilogi Kartini, sebagai warisan pemikiran tentang emansipasi dan kesetaraan gender.
Sementara itu, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon dalam sambutannya menyampaikan sosok Kartini sebagai sosok yang sangat besar bagi bangsa Indonesia, bahkan perjuangannya pun dirangkai menjadi sebuah lagu oleh WR. Supratman.
“Emansipasi akhirnya didapatkan R.A. Kartini dengan jasa-jasanya dan dinobatkan menjadi pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno pada tahun 1964, menjadi pahlawan nasional pertama perempuan di Indonesia. Perjuangan Kartini sangat relevan dengan konteks pembangunan karakter bangsa. Meski hanya berusia hingga 25 tahun, Kartini menulis hampir 400 surat yang hingga kini, suluhnya tetap hidup dan relevan,” ujar Fadli Zon.