Kab. Bekasi (15/7) – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan mengungkapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyambut baik inisiatif lintas sektor yang Kementerian Kesehatan lakukan dalam memperkuat gerakan komunitas untuk penanggulangan Tuberkulosis (TBC) melalui “Gerakan Bersama Desa dan Kelurahan Siaga TBC di Desa Sukadami, Kabupaten Bekasi”. Wamen PPPA menambahkan ini adalah wujud nyata kolaborasi pentahelix yang dibutuhkan dalam menghadapi permasalahan kesehatan masyarakat yang kompleks seperti TBC.
Wamen PPPA menyampaikan penting bagi kita semua untuk memastikan bahwa program penanggulangan TBC bersifat sensitif dan responsif terhadap kebutuhan spesifik perempuan, anak, lansia, dan kelompok rentan lainnya.
“Desa dan Kelurahan Siaga TBC adalah bentuk nyata dari kolaborasi yang menempatkan masyarakat sebagai garda terdepan, termasuk peran penting perempuan sebagai garda terdepan. Desa dan Kelurahan Siaga TBC bisa kita manfaatkan sebagai ruang yang sangat strategis untuk memberdayakan perempuan sebagai agen perubahan—bukan hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai pemimpin komunitas, kader kesehatan, dan pelopor edukasi keluarga,” ungkap Wamen PPPA dalam Dialog Interaktif Gerakan Bersama Desa dan Kelurahan Siaga TBC, di Kantor Kepala Desa Sukadami, Kabupaten Bekasi.
Wamen PPPA menambahkan upaya yang dilakukan Kementerian Kesehatan sejalan dengan komitmen Kemen PPPA untuk memastikan perempuan dan anak memiliki ruang aman, mendapatkan perlindungan, dan dilibatkan secara aktif dalam seluruh proses pembangunan, khususnya di tingkat desa.
“Pemerintah desa memiliki peran strategis untuk menciptakan ruang-ruang aman bagi perempuan termasuk dalam pencegahan dan penanganan TBC di desa. Sebagaimana kita ketahui, TBC bukan hanya persoalan medis, tetapi juga persoalan sosial, ekonomi, dan gender. Data menunjukkan bahwa perempuan, terutama ibu rumah tangga, sangat rentan terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka seringkali menjadi pendamping utama pasien TBC di rumah, sekaligus menanggung beban ganda merawat, mengurus keluarga, dan dalam banyak kasus, mencari nafkah,” ujar Wamen PPPA.
Wamen PPPA juga menyoroti persoalan pernikahan anak dan stigma sosial terhadap anak perempuan, terutama di wilayah Jawa Barat yang tercatat memiliki angka pernikahan dini dan penderita HIV AIDS yang tinggi.
“Masih ada anggapan bahwa anak perempuan usia 15 tahun yang belum menikah dianggap tidak laku. Stigma ini harus dihapus, pemerintah perlu membangun komunitas dan kegiatan alternatif agar anak-anak perempuan memiliki pilihan aktivitas yang produktif dan membangun masa depan. Mereka harus didorong untuk berprestasi, melanjutkan pendidikan, dan meraih cita-cita setinggi mungkin,” ujar Wamen PPPA.
Dalam kesempatan yang sama, Wamen PPPA menekankan pentingnya penguatan layanan pengaduan SAPA 129 sebagai sistem pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Layanan ini, menurutnya, merupakan hasil sinergi antara Kemen PPPA, Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, serta berbagai pemangku kepentingan lainnya dalam memperkuat sistem perlindungan nasional.
Sementara itu, Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono menyampaikan bahwa Indonesia saat ini menempati peringkat kedua kasus Tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia, setelah India dan menggantikan posisi China yang berhasil menurunkan jumlah kasusnya.
“Kasus TBC di Indonesia masih tinggi. Peran kader kesehatan dan kepala desa menjadi sangat penting dalam penanggulangan penyakit ini. Jika kepala desa tidak aktif, maka kader pun akan kesulitan menjalankan tugasnya,” ujar Wamenkes.
Wamenkes mengungkapkan Pemerintah telah memperoleh dukungan dana Global Fund sebesar Rp6 triliun selama tiga tahun untuk penanganan TBC, HIV, dan malaria. Namun, ia menekankan bahwa hal yang lebih penting adalah upaya identifikasi dini dan pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT), terutama bagi keluarga yang tinggal bersama pasien TBC.
“TPT harus diberikan kepada anggota keluarga pasien yang belum menunjukkan gejala. Ini penting untuk mencegah TBC laten yang bisa berkembang menjadi aktif. Kita harus segera identifikasi, periksa, dan obati, terutama pada anak-anak. Obat TPT aman, meskipun menyebabkan urin berwarna merah karena kandungan rifampicin, dan itu bukan hal yang perlu ditakuti,” jelasnya.
Wamenkes mengatakan untuk mendukung kegiatan edukasi kader, pemerintah telah menyediakan alat bantu berupa lembar balik TBC. Selain itu, Wamenkes juga mengumumkan peluncuran program Sekolah Rakyat di 200 titik di Bekasi, yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin, serta rencana pembangunan Koperasi Merah Putih di tingkat kelurahan, yang akan dilengkapi dengan klinik dan apotek desa.
“Puskesmas memiliki tugas promotif dan preventif yang tidak dapat dilakukan oleh rumah sakit. Oleh karena itu, dana kapitasi akan difokuskan pada penguatan layanan di puskesmas. Kami menargetkan Indonesia bebas TBC pada tahun 2030. Ini hanya dapat terwujud jika seluruh elemen masyarakat, terutama ibu-ibu kader kesehatan, bergerak bersama,” tegas Wamenkes.