Yogyakarta (21/4) – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi mengunjungi korban kekerasan penyiraman air keras yang terjadi di Yogyakarta, pada Sabtu (19/4). Kunjungan ini merupakan bentuk kepedulian sekaligus komitmen Kemen PPPA dalam memastikan perlindungan dan layanan pemulihan yang optimal bagi korban.
“Hari ini saya mengunjungi seorang perempuan berusia 21 tahun yang menjadi korban penyiraman air keras yang menyebabkan luka bakar serius pada 80 persen bagian tubuh korban, termasuk wajah, dada, kedua kaki dan tangan, serta merusak kedua kornea matanya. Ini merupakan bentuk kejahatan yang tidak bisa kita toleransi. Kemen PPPA sebagai layanan rujukan akhir akan terus memantau proses pelayanan dan siap membantu apabila dibutuhkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban,” ujar Menteri PPPA.
Menteri PPPA menyampaikan keprihatinan mendalam secara langsung kepada kedua orang tua korban yang terus mendampingi proses perawatan. Menurut Menteri PPPA, korban telah menerima penanganan medis yang intensif, termasuk upaya pencegahan infeksi dan tindakan bedah kulit atauskin graftyang telah dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali.
“Saat saya berkunjung, korban masih berbaring dan belum dapat berbicara sehingga saya tidak bisa berinteraksi lebih banyak. Namun, berdasarkan informasi, kondisi korban sudah mulai menunjukkan perkembangan, seperti duduk dan berlatih berjalan, meskipun kondisi kedua mata korban sulit untuk pulih sepenuhnya. Perjalanan pemulihan korban masih panjang dan membutuhkan dukungan kita semua,” kata Menteri PPPA.
Menteri PPPA menyebutkan, pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berkomitmen memastikan korban mendapatkan perawatan secara optimal dalam lingkungan yang aman dan bersih. “Selain itu, kami juga mengapresiasi Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang turut memberikan bantuan dan dukungan maksimal bagi korban,” imbuh Menteri PPPA.
“Peristiwa penyiraman air keras ini dialami korban pada 24 Desember 2024, saat korban akan melakukan ibadah Natal. Korban disiram air keras oleh seseorang yang diduga dipekerjakan oleh mantan pacarnya. Proses hukum kasus ini sedang berjalan di persidangan. Karena kondisi korban tidak dapat dihadirkan secara luring, maka korban dihadirkan dalam persidangan secara daring. Kemen PPPA terus mendorong proses hukum berjalan seadil-adilnya dan memastikan pemulihan menyeluruh bagi korban kekerasan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial,” kata Menteri PPPA.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal LPSK, Sriyana mendorong pengajuan restitusi dalam proses persidangan sebagai hak korban. “Restitusi merupakan hak korban terlepas dari apapun kondisi atau latar belakang tersangka dan keluarganya. LPSK dapat dipanggil sebagai ahli untuk menyampaikan hak korban dipersidangan agar hakim memiliki perspektif bahwa restitusi merupakan hak korban. Selain itu, kondisi keluarga korban yang memiliki 3 (tiga) adik dan ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena mendampingi korban di Yogyakarta untuk merawat sehingga mengakibatkan orang tuanya tidak bisa bekerja akan memperkuat LPSK supaya bantuan biaya hidup sementara dapat dikabulkan. Kami juga mendapat informasi bahwa walaupun cuti belajar, korban tetap dibebankan membayar biaya kuliah. Oleh karena itu, akan diupayakan mendapatkan bantuan biaya psikososial,” ujar Sriyana.
Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk terus melakukan pendampingan bagi korban baik pemulihan secara fisik maupun psikis. Menurutnya, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) memiliki pelayanan yang komprehensif bagi korban.
“Kasus ini termasuk dalam kategori yang sangat berat yang membutuhkan pembiayaan ratusan juta atau bahkan nantinya milyaran. Saat ini pembiayaan masih bisa ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Semesta yang dapat digunakan oleh perempuan dan anak korban kekerasan. DIY telah memiliki peraturan gubernur tentang pembiayaan jaminan kesehatan. Namun, untuk perawatan pemulihan korban selanjutnya masih memerlukan pembiayaan dengan jumlah yang besar. Untuk itu Kemen PPPA bersama dengan LPSK serta DP3AP2 DIY melakukan dialog bersama terkait rencana pembiayaan pemulihan korban yang tidak bisa ditanggung oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Rumah sakit bersama kami dan Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY sudah memahami mekanismenya sehingga penanganan korban kekerasan di wilayahnya dapat dilakukan dengan cepat,” pungkas Erlina.